4/15/11

Rosihan Anwar

 



Pertemuan saya terakhir dengan tokoh wartawan H Rosihan Anwar yang meninggal dunia kemarin pagi itu terjadi enam bulan lalu. Yakni, ketika saya datang ke rumahnya di Jalan Surabaya, di kawasan Menteng, Jakarta, untuk melayat kematian istrinya. Itulah untuk kali pertama saya ke rumah almarhum. Saya tertegun melihat lokasi rumahnya dan lebih-lebih melihat rumahnya.

Selama ini saya hanya tahu bahwa Pak Rosihan, begitu biasa kami memanggil beliau, rumahnya di Menteng. Menteng adalah lambang kementerengan dan simbol elitisme kawasan di Jakarta. Kalau disebutkan tinggal di Menteng, konotasi yang muncul langsung ”rumah gedongan”, di kawasan yang sangat elite yang teduh. Tapi, meski di kawasan Menteng, kawasan rumah Pak Rosihan tidak termasuk yang tergambar itu. Kawasan rumah ini terpinggirkan oleh keadaan. Di pinggir jalan rumah itu berderet bangunan setengah permanen untuk pedagang kecil. Di belakang deretan bangunan yang bergandeng-gandeng itu terdapat sebuah sungai yang kotor dan berbau. Rumah beliau ada di sebelah sungai itu. Dengan demikian, kalau dilihat dari ”Menteng”, seperti tersembunyi di baliknya.

Bangunan rumahnya sendiri menguatkan kesan terpinggirkan itu. Rumah tua yang kurang lebih hanya tipe 200 m2 yang terlihat tidak pernah disentuh oleh renovasi. Kawasan itu, dan bangunan rumah itu, seperti mencerminkan sikap dan penampilan Pak Rosihan sehari-hari yang tua dan sederhana.

6/14/09

Di dunia ini ternyata ada empat hal yang tidak bisa diduga: lahir, kawin, meninggal, dan … Gus Dur!




Guyonan itu, rupanya, tidak berlebihan. Meski sudah banyak yang meramalkan bahwa penampilan Gus Dur di depan DPR Kamis lalu bakal ramai, toh tidak ada yang menyangka bahwa sampai seramai itu. Kalau bukan kiai, mana berani menjadikan pidato Ketua DPR Akbar Tandjung sebagai sasaran humor? Akbar sejak dulu memang selalu memulai pidato dengan memanjatkan syukur. Maka, Gus Dur pun melucu, yang membuat semua anggota DPR tertawa: syukur memang perlu dipanjatkan karena Syukur tidak bisa memanjat


Begitu menariknya, karuan saja pidato presiden kini banyak ditunggu penonton televisi. Padahal, dulu-dulu kalau presiden pidato di TV banyak yang mematikan TV-nya. Begitu tidak menariknya pidato presiden di masa Orde Baru sampai-sampai pernah para anggota DPRD diwajibkan mendengarkannya. Itu pun harus diawasi agar mereka sungguh-sungguh seperti mendengarkan. Untuk itu, perlu diadakan sidang pleno DPRD dengan acara khusus nonton televisi.

***

2/13/81

Neraka 40 Jam di Tengah Laut

 




Kisah tenggelamnya kapal Tampomas II
TEMPO Edisi. 50/X/07 – 13 Februari 1981

Perjalanan ini
terasa sangat menyedihkan
………….
Mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin
Tuhan mulai bosan melibat tingkah kita
Yang selalu salah dan
Bangga dengan dosa-dosa
……………

BELUM lagi seperempat jam lagu Ebiet G. Ade itu selesai dinyanyikan biduanita Ida Farida, penumpang KM Tampomas II panik. “Api!, api!,” pekik mereka. Dan asap tebal dari bagian belakang kapal milik PT Pelni itu mengurung mereka.

Itu terjadi sekitar pukul 22.15 hari Minggu 25 Januari. Kecuali yang tinggal di restauran dan asyik mendengarkan band serta suara Ida itu, sebagian besar penumpang baru saja memasuki kamar masing-masing. Tapi segera mereka menghambur ke luar.

Dari pengeras suara, terdengar perintah untuk menggunakan pelampung. Para penumpang di dek, hiruk-pikuk berebut alat berwarna kuning itu. Belum lagi sejam berdiri di anjungan, kaki udah tak kuat merasakan panas. Api di dek bawah rupanya sudah menyundulkan sengatnya. Para penumpang kembali berebut potongan-potongan kayu untuk alas kaki mereka.

Siapa orang pertama yang melihat kebakaran itu masih belum diketahui. Yang jelas, dia adalah awak kapal yang malam itu bertugas di bagian mesin.

“Saya terima laporan pertama dari dia,” ujar Hadi Wiyono, masinis III yang malam itu berada di posnya, di anjungan, sebagai perwira piket.

1/12/80

Saya Ini Orang Masa Lalu

 

Saya Ini Orang Masa Lalu



12 Januari 1980 . UNTUK menuju kamarnya kita harus melalui pagar besi tujuh rangkap. Di situlah, di kamar ke-5 dari 9 ruangan serba beton di blok B-II penjara Kalisosok (Surabaya), Kusni Kasdut menunggu akhir hidupnya — yang agaknya sudah ditentukan tak lama lagi.

Ia sendirian.

Ruangan lain belum berpenghuni. “Barangkali hanya saya saja yang kuat membayar untuk kamar jenis ini,” ujar Kusni bergurau. Ia suka tetap berseloroh dan bersikap biasa-biasa saja. Maklumlah terpidana mati ini hingga awal bulan ini belum tahu perihal penolakan grasinya. Bangun pukul 5 ia memulai kegiatannya dengan sembahyang pagi. Agamanya Katolik.

Setelah itu ia mendapat kesempatan “jalan pagi” di halaman kamar, sebelum membenahi kamarnya sendiri. Menyusul waktu minum kopi dan sarapan roti. Setelah itu, seharian sampai malam, sepi. Tak ada teman ngobrol. Tak ada lagi keroncong, langgam dan tiupan trompet Louis Amstrong kegemarannya. “Saya ini memang orang masa lalu,” kata Kusni. Dulu ia boleh menikmati musik itu di penjara cipinang. Kini ia tak boleh lagi memiliki radio atau televisi.